- Beranda
- ARTIKEL SEKOLAH
- SALATIGA - UNGARAN
Selasa, 26 November 2019 - WIB
.jpg)
SALATIGA UNGARAN
Tidak seperti biasanya yang selalu menunggu anak-anak pulang, baru aku pulang. Hari itu, begitu tanda bel pulang sekolah aku meluncur pulang. Diantar oleh seorang teman aku turun ABC Salatiga. Sudah hampir lima angkutan Salatiga-Ungaran lewat, tetapi aku tak tertarik untuk beranjak dari tempat dudukku di depan sebuah warung makan. Setelah 15 menit menunggu akhirnya isuzu jurusan Salatiga Ungaran yang berwarna merah menarik perhatianku dan akhirnya aku pun dengan enjoy naik dan duduk di depan dekat sopir.
“Ungaran Mbak?” begitu dia menawarkan.
“Ya pak,” jawabku sambil membetulkan dudukku.
Aku memandang ke depan lalu kutengok ke belakang. Ternyata hanya aku seorang penumpangnya. “Pak nanti turun Rumah Sakit Ungaran, ya!” pintaku. “Ya. Kerja di Rumah Sakit Ungaran ya, Mbak?” tanyanya kemudian. “Ndak, Pak. Ada keperluan saja ke sana,” jawabku.
Kami terdiam dalam aktivitas masing-masing. Aku sibuk mengurusi HP karena beberapa SMS yang harus kubaca dan kubalas. Sesekali kulihat si sopir tengok kanan kiri sepanjang jalan dari ABC sampai Pasar Sapi. Aku mengambil kacamata di dalam tas karena cahaya matahari yang begitu silau hingga akhirnya kulindungi mataku dengan kacamata plusku.
Hanya aku seorang penumpangnya, hingga sampai di Palang Salatiga. Sopir menghentikan mobilnya untuk beberapa saat sambil menunggu penumpang lain. Saat itu datanglah seorang lelaki yang kupikir adalah teman baiknya. Mereka cerita banyak hal mulai dari keluarga sampai masalah pekerjaan.
“Katanya di Jakarta Mas?” tanya sang sopir.
“Iya, tapi hanya kuat dua bulan. Enak di Salatiga aja,” jawabnya.
“Lho kok bisa, Jakarta kan uangnya gedhe-gedhe,” lanjut sang sopir.
“Kata siapa. Itu khan untuk orang-orang tertentu. Kalau untukku sih mending di Salatiga. Coba bayangin, aku di sana hanya sebagai sopir bus Trans Jakarta. Penghasilan tak seberapa. Malah jauh di bawah UMR,” katanya berhenti sejenak.
“Tapi khan ada saweran lain,” lanjut sang sopir.
“Ada sih. Tapi biasa aja kok. Ndak ada pengaruhya ke kantongku.Ya, dapat uang makan 15 ribu per hari. Ada mess. Iya sih memang, di Trans Jakarta bisa menaikkan penumpang selain di halte, tapi sehari hanya maksimal 6 orang. Coba kamu hitung jika satu penumpang hanya Rp2.500,00 kali 6 berapa? Lima belas ribu to, benar-benar minus, Bung,” lanjutnya.
Aku mulai tertarik dengan cerita itu. Masak iya di Jakarta gaji sopir hanya sekecil itu. Aku tersenyum tanda aku memperhatikan pembicaraan itu. Bapak itu tambah semangat bercerita. “Benar, Mbak. Memang hanya segitu dapatnya, makanya saya ndak betah trus pulang ke Salatiga. Mending sopir di Salatiga Mbak, sehari bisa ngantongi bersih minimal Rp75.000,00. Kalau sebulan dah berapa tuh. Belum lagi dekat keluarga, anak istri dekat. Itu kebahagiaan Mbak, yang tak ternilai oleh apapun,” lanjutnya.
“Ungaran, Ungaran,” sesekali pria itu mencoba membantu sang sopir mencarikan penumpang.
Dan akhirnya setelah mengobrol hampir sepuluh menit, ada tiga orang penumpang masuk ke angkutan itu. Seorang di antaranya laki-laki tua berumur sekitar 70 tahun. Dan dua orang lainnya adalah wanita muda yang membawa map plastik warna kuning. Masing-masing duduk di tempat yang berbeda. Dengan gayanya yang khas lelaki tua itu duduk menyandar di belakang sopir sementara dua wanita muda itu duduk bersebelahan sambil mengobrol pelan tapi masih sempat kudengar. Ternyata mereka mengobrol seputar pekerjaan yang akan mereka lamar.
Izuzu yang kutumpngi itu pun berlalu dari Palang. Kami melanjutkan ke arah Ungaran. Sampai di Jetis sang sopir kembali bercerita. Dia menceritakan bagaimana susahnya mencari penghasilan saat ini dibandingkan tuntutan kebutuhan yang semakin tinggi.
“Bapak punya putra berapa?” tanyaku.
“Empat Mbak, yang besar SMA kelas tiga, yang kedua SMP juga kelas tiga. Dua adiknya masih SD, yang satu kelas empat dan dua. Bentar lagi mikir biaya masuk sekolah Mbak. Belum lagi kebutuhan hariannya. Saya dan ibunya anak-anak harus berpikir dua kali kalau menginginkan sesuatu yang tidak pokok. Dulu saya pernah diajak kakak ke Kalimantan Mbak. Gajinya di sana besar Mbak, sebulan bisa mencapai sepuluh juta. Tapi rasanya berat mau ke sana. Ninggal keluarga itu lho Mbak. Apalagi anak saya yang terakhir itu, lengketnya dengan saya. Kalau saya sudah pulang kerja, semuanya harus dengan saya. Khan kasihan kalau saya tinggal. Biarlah saya tetap di sini yang penting saya dekat dengan keluarga dan bisa mendampingi istri mendidik anak-anak kami. Yang penting saya syukur Mbak,” lanjutnya. “Sekarang ini ya Mbak, banyak orang yang nggak syukur. Hanya mengejar materi dunia. Akibatnya hidup mereka ndak berkah. Banyak yang anaknya jadi liar. Saya takut Mbak kalau seperti itu. Biarlah saya hanya seorang sopir, yang penting anak-anak saya bisa mengenyam pendidikan dengan baik dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat.”
Aku tersenyum saja mendengar ceritanya. Sungguh tanggung jawab orang tua yang sangat besar pada anak-anaknya. Dan rasa trimo dan syukur itulah yang aku acungi jempol dari bapak ini. Dia lebih memilih kerja yang lebih dekat meski hasilnya hanya cukup untuk keperluan pokok keluarganya.
Mobil berhenti di Blotongan. Naiklah wanita setengah baya sambil memegang map putih dan sebuah tas warna biru menggantung di lengannya. “Mbak, depan masih kosong ya. Bolehkan kalau saya di depan?” tanyanya padaku.
Aku mengangguk. “Iya Bu, mari silahkan,” jawabku.
“Terima kasih. Mbak, turun mana?” lanjutnya.
“Ungaran Bu, kalau Ibu turun mana?” tanyaku.
“Cimory Mbak, mau nglamar kerja,” jawabnya. “Saya kemarin dapat informasi di sana butuh tenaga. Kebetulan sesuai dengan keahlian saya. Saya coba aja melamar. Semoga saja saya diterima. Semoga ya Mbak,” begitu katanya.
“Insyaallah Bu,” jawabku meyakinkannya.
Kami berdua terlibat pembicaraan yang bagiku sangat mengasyikkan. Dia bercerita sebagai ibu muda yang harus menghidupi anaknya yang masih berumur lima tahun. Suaminya telah meninggal satu tahun yang lalu karena sakit. Tampak ibu muda itu menghela nafas sebelum dia melanjutkan ceritanya.
“Mbak kerja di mana?” tanyanya.
“Saya mengajar Bu di SMP 8 Salatiga,” jawabku.
“Enak ya Mbak bisa jadi guru,” komentarnya.
“Alhamdulillah Bu,”jawabku sambil tersenyum.
“Memang takdir kita lain-lain, Bu, “ sang sopir menimpali.
“Iya Pak, saya sadar itu. Makanya ketika suami saya sakit dan akhirnya menghadap Yang Kuasa, saya bangkit dan menyadari bahwa hidup ini hanya sementara dan kita harus berjuang mempertahankan hidup. Kita ndak boleh menyerah karena Allah sudah mengatur garis rezeki kita. Jika memang rejeki takkan lari ke mana.”
Aku terdiam. Hari ini aku bertemu dengan orang-orang yang sederhana namun penuh semangat mempertahankan hidup dengan cara yang patut aku acungi jempol. Benar-benar sesuatu yang harus dicontoh.
Sampailah di depan Cimory, pabrik olah susu terkenal di daerah Semarang dan sekitarnya. Sebelum turun ibu itu berkata, ”Doakan aku ya Mbak, semoga aku diterima kerja demi anakku,” pintanya padaku.
Aku mengangguk dan mengacungkan jempol untuknya.
Perjalanan berlanjut. Sampai akhirnya ada lima orang penumpang menyetop kendaraan itu. Kulihat dari penampilannya mereka adalah kuli-kuli bangunan. Dengan pakaiannya yang agak kotor mereka naik ke angkutan. Aku berpikir, betapa Allah sudah mengatur rejeki setiap orang sesuai dengan suratan takdirnya. Dengan cara yang berbeda Allah telah menetapkan rejeki mereka. Dan aku jadi sadar bahwa aku adalah seorang pendidik yang mempunyai kewajiban moral untuk anak bangsa bahwa dengan pendidikan dapat memperbaiki kondisi ekonomi seseorang.Mungkin orang tua anak-anak didikku tak jauh kehidupannya dengan mereka. Jauh dari kecukupan materi. Namun aku berharap dan berusaha agar anak-anak didikku menyadari betul posisi mereka dan lebih semangat belajar karena hanya dengan ilmulah, mereka akan memiliki kehidupan yang lebih baik yang tentunya akan membuat orang tua bangga. Pengorbanan orang tua yang begitu besar tak akan sia-sia dengan prestasi yang ditorehkan anaknya bukan dengan perilaku yang membuat hati mereka menciut.
Sampailah aku di depan Rumah Sakit Ungaran. “Mbak, sudah sampai,” kata pak sopir.
“Ya, Pak terima kasih.”Kuulurkan lembaran dua puluh ribu untuknya. Saat dia mau mengembalikan sisanya,” Biarlah untuk putra Bapak saja. Salam saya untuk keluarga Bapak di rumah. Terima kasih,” jawabku.
“Sama-sama Mbak, semoga menjadi berkah untuk Mbak,” jawabnya.
Aku turun dan menyeberang menuju RS. Aku bergegas ke ruang perawatan ayahku. Tampak bapakku yang sudah sangat tua tergolek di pembaringan ditemani adikku. Aku mendekati beliau. Kucium tangan yang mulai mengeriput dimakan waktu. Beliau mengelusku. “Gimana pekerjaanmu,” tanya beliau lemah.
“Alhamdulillah baik, Pak. Terima kasih atas pengorbanan Bapak membesarkan kami hingga kami bisa menjadi seperti ini.” Kucium berkali-kali tangan Bapak. Bapak mengelusku. Sebuah usapan yang lembut dari seorang lelaki tua yang sudah tak berdaya.
Bapak tersenyum. Senyum yang begitu indah dan menyejukkan hati kami. Aku memegang tangan adikku. “Tin, betapa besar pengorbanan orang tua untuk kita. Saatnya kita membahagiakan Bapak di usia senja Bapak. Kita mungkin tak dapat membalas jasa orang tua namun setidaknya kita membuat bangga dan bahagia di usia senja mereka,” kupeluk adikku satu-satunya. Dia mengangguk dan menangis dalam pelukanku.
Perjalanan sepanjang Salatiga-Ungaran dalam izusu warna merah memberi pelajaran yang begitu besar betapa pengorbanan orang tua yang dengan caranya masing-masing dalam memegang amanah Allah membesarkan anak-anak.